Sejarah Desa Madiredo

Desa Madiredo mulai terbentuk kurang lebih 150 tahun yang lalu seiring dengan berkembangnya system pemerintahan di Negara kita pada waktu itu. Desa Madiredo sebenarnya telah ada pada tahun abad ke 19 atau pada tahun 1800-an, tetapi Desa Madiredo resmi menjadi Desa pada tahun 1910 setelah dipimpin oleh seorang Kepala Desa yang pertama yang bernama Marto Rejo. Desa Madiredo saat itu dibagi menjadi empat dusun yaitu Bengkaras, Sobo, Lebo dan Delik. Marto Rejo menjabat sebagai Kepala Desa selama 8 tahun hingga tahun 1918. Pada waktu itu sebenarnya Pemerintah Desa tidak dipimpin oleh seorang Kepala Desa melainkan dipimpin oleh Aris atau seorang yang membawahi sepuluh petinggi. Marto Rejo dibantu oleh seorang Carik (Sekretaris Desa) bernama Mustarin, Kuwowo bernama Dolah dan Kepala Dusun dari empat dusun yang ada yaitu: Mat Kaeni (Bengkaras), Tabri (Lebo), Jasmani (Sobo) dan Suhardji (Delik). Setelah kepemimpinan Marto Rejo jatuh, terjadi kekosongan pemerintahan karena tidak ada yang mengisi jabatan Kepala Desa, sampai hampir sembilan tahun. Kekosongan Pemerintahan tersebut baru berakhir sekitar tahun 1927 atau 18 tahun sebelum kemerdekaan. Hal ini tentu tidak terlepas dari perkembangan politik pada waktu itu. Proses dan usaha Belanda menguasai kembali seluruh wilayah Indonesia membuat seluruh warga Desa Madiredo bahu-membahu berjuang untuk mengusir penjajah. Perjuangan secara gerilya ini yang menjadikan Desa Madiredo tidak bisa ditaklukkan Penjajah secara keseluruhan. Hal ini terjadi karena pada masa itu banyak gerilyawan yang menyerang pos-pos Belanda di Persil dan juga memutuskan jalur transportasi Belanda ke Pos yang ada di Persil. Terputusnya jalur transportasi ini yang menjadi faktor utama sehingga para gerilyawan dapat merebut Persil dari tangan Belanda.

Baru pada awal kemerdekaan, Pemerintahan Desa Madiredo terbentuk kembali. Kepala Pemerintahan tertinggi dipimpin oleh seorang Lurah yang membawahi empat Kepala Dusun. Lurah pertama atau pemimpin ke dua dalam sejarah Desa Madiredo adalah Sukandar. Kepala Dusun yang bertugas pada masa Pemerintahan Sukandar adalah Ya’ali (Lebo), Jasmani (Sobo) dan Suhardji (Delik). Masa Jabatan Sukandar berkahir pada tahun 1957 dan kemudian digantikan oleh Mukhtar yang menjabat selama 23 tahun hingga tahun 1980.

Setelah kepemimpinan Mukhtar berakhir, bentuk Pemerintahan Desa diubah lagi. Pemimpin tertinggi adalah Kepala Desa. Sebagai Pejabat Kepala Desa pada waktu itu adalah Mudjahidin yang terpilih melalui proses pemungutan suara yang demokratis oleh seluruh warga Desa Madiredo. Pada masa Pemerintahan Mudjahidin, terjadi penambahan dusun menjadi lima dusun dengan dua dua anak dusun yaitu Karas, Sobo, Lebo, Delik dan dusun yang baru yaitu Sumber Mulyo. Anak Dusun yang terbentuk adalah Sidodadi dan Meduran yang sampai saat ini merupakan anak dusun dari Lebo. Kepala Dusun yang masih dalam masa jabatannya sampai saat ini adalah Abdul Munip dusun Karas, M. Kamai dusun Sobo, Masruhin dusun Lebo, Suharji dusun Delik dan Kayanto dusun Sumber Mulyo. Pada tahun 2007 masa jabatan Mujahidin berakhir dan telah terpilih secara demokratis pada Pemilihan Kepala Desa Madiredo yaitu Naning Mutrofin yang merupakan istri dari Mujahidin Kepala Desa terdahulu. Pada Pemerintahan Naning Mutrofin,Kepala Dusun yang menjabat pada masa ini,Kep Dsn Bengkaras (H Abd Munip),Sobo (M Nursohib),Lebo (Masruhin),Delik(Joko Sudaryono) Sumber Mulyo(Kayanto).dan pada tahun 2013 masa jabatan Ibu Nanaing Mutrofin berakhir dan diganti oleh Bpk Mahfud, tidak mengalami perubahan Karena Kepala Dusun dari masing-masing Dusun masih dianggap mampu untuk menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dalam menyelenggarakan Pemerintahan Desa.

Sejarah Desa Madiredo berkembang sejak tahun 1800-an, yaitu bersamaan dengan Pangeran Diponegoro menggelorakan perang gerilya melawan penjajah di daerah ini. Sejarah Penamaan desa dan Dusun dimulai dengan suatu legenda rakyat yang cukup terkenal yaitu cerita Raden Panji Laras. Raden Panji adalah anak dari Mbok Rondo Dadapan, beliau mempunyai seekor ayam. Nama dari Raden Panji Laras yang kemudian diabadikan menjadi sebuah nama dusun yaitu dusun Bengkaras. Sedangkan nama dari dusun sobo berasal dari kebiasaan ayam Panji Laras yang sering bermain ke suatu tempat yang akhirnya dinamakan Sobo.

Suatu ketika terjadi bencana alam yaitu meletusnya Gunung Gentong Growah, kemudian lahar yang dikeluarkan menggenangi sebuah daerah yang kini dinamakan dusun Lebo, yang artinya Kemasukan Lahar. Sebelum daerah tersebut tergenangi lahar, terdapat sebuah gedung yang sangat besar dan indah peninggalan colonial Belanda, yang sampai saat ini masih dikenal masyarakat Desa Madiredo.Akan tetapi bencana itu telah melenyapkan gedung tersebut dan kini menjadi misteri yang tak terkuak dengan logika. Menurut masyarakat di sekitar, gedung yang tersapu lahar dapat dilihat dengan cara bersemedi di keramat Pangeran Sumodiharjo.

Pangeran Sumodiharjo merupakan Panglima Perang yang mengikuti perjuangan Pangeran Diponegoro sekaligus Senopati dari Grebek Solo. Beliau mempunyai istri bernama sambernyowo dengan selendang saktinya yang terkenal yaitu Plontang Seloko. Pada suatu hari Pangeran Sumodiharjo dan Pangeran Diponegoro diburu oleh segerombolan perampok. Pangeran Sumodiharjo bersembunyi di suatu daerah yang saat itu dinamakan dusun delik, yang dalam bahasa Indonesia bersembunyi, sedangkan Pangeran Diponegoro tidak mengikuti ajakan Pangeran Sumadiharjo untuk sembunyi, yang akhirnya Pangeran Diponegoro tertangkap oleh perampok yang merupakan antek-antek dari Belanda.

Pada tahun 1850 banyak imigran dari Madura yang memasuki Desa Madiredo tepatnya di dusun Lebo. Mereka berdomisili di suatu kawasan yang kini bernama Meduran. Meduran merupakan anak dusun Lebo. Adanya suatu permasalahan internal antar imigran menyebabkan etnik Madura tersebut pindah keluar dari Desa Madiredo.

Sekitar tahun 1900-an terjadi sengketa tanah antara Pihak desa dengan Belanda untuk memperebutkan Tanah P2 atau tanah bengkok. Dari sengketa tersebut kemenanganpun berpihak pada Desa. Akhirnya tanah tersebut digunakan untuk pemukiman orang-orang miskin yang tak punya rumah dan lahan. Penamaan daerah tersebut dengan nama Sumber Mulyo sesuai dengan harapan masyarakat yang mengharapkan mendapatkan sumber penghidupan baru.

Selang 64 tahun kemudian terdapat sebuah perkampungan yang dihuni oleh sejumlah keluarga. Daerah tersebut sebenarnya akan dijadikan dusun tersendiri, tetapi masih banyak keraguan untuk berdiri sendiri. Akhirnya daerah tersebut dinamakan Sidodadi yang sekarang merupakan anak dusun Lebo.

Nama Desa Madiredo sendiri diambil dari nama sebuah telaga yang ada di perbatasan dusun Lebo dan Sobo yaitu Telaga Madiredo. Telaga tersebut merupakan tempat mandi para Bidadari.